Kamis, 25 Agustus 2011

PEMBELAJARAN SAINS UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK


PEMBELAJARAN SAINS UNTUK
PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK
*ADRIANUS NASAR, M.Pd.Si

I.        Latar Belakang
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Potensi peserta didik tersebut dikembangkan melalui: (1) Olah hati untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan, meningkatkan akhlak mulia, budi pekerti, atau moral, membentuk kepribadian unggul, membangun kepemimpinan dan entrepreneurship; (2) Olah pikir untuk membangun kompetensi dan kemadirian ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) Olah rasa untuk meningkatkan sensitifitas, daya apresiasi, daya kreasi, serta daya ekspresi seni dan budaya; dan (4) Olah raga untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran, daya tahan, dan kesigapan fisik serta keterampilan kinestetis.
Hal yang ideal ini sering berlawanan dengan kenyataan yang dialami bangsa Indonesia. Kita sering menyaksikan berita tentang korupsi dari tingkat pusat sampai di daerah. Dari survei yang dilakukan oleh Transparency Internasional tentang Negara terkorup,  pada tahun 2010 Indonesia berada pada peringkat 110 dengan skor 2,8 pada skala 0 sampai 10, sangat bersih dan pada tahun 2009 berada pada peringkat 126 dengan skor 2,6.  Selain itu, pada tingkatan tertentu dalam masyarakat sering terjadi kerusuhan, perkelahian antar pelajar/mahasiswa, pemerasan, pencurian, dan lain-lain.
 Menurut Thomas Lickona (1991:13), terdapat sepuluh kencenderungan permasalahan pada anak muda atau remaja atau anak sekolah, yaitu (1) kekerasan dan perusakan (violence and vandalism), (2) mencuri (stealing), (3) menyontek (cheating), (4) sikap tidak sopan/hormat terhadap otoritas (disrespect for authority), (5) kejam terhadap sesama (peer cruelty), (6) fanatik (bigotry), (7) penggunaan bahasa yang jelek (bad language), (8) perkembangan dan penyalahgunaan sexual (sexual precocity and abuse), (9) meningkatnya sikap yang berpusat pada diri sendiri dan menurunnya tanggung jawab sosial (increasing self-centeredness and decreasing civic responsibility), dan (10) perilaku merusak diri (self-destructive behavior).
Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah.
Kecenderungan pendidikan karakter di sekolah dibebankan pada mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan dan mata pelajaran lain hanya mengajarkan pengetahuan sesuai dengan bidangnya ilmu,  teknologi atau seni. Padahal seharusnya proses pembelajaran nilai-nilai karakter idealnya diintegrasikan di dalam setiap mata pelajaran atau mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam antar mata pelajaran. Bagaimanakah hubungan pendidikan karakter dengan mata pelajaran?

II.      Kebutuhan akan Pendidikan Karakter
Berdasar pada permasalahan di atas, maka kebutuhan akan adanya pendidikan karakter diperlukan atas dasar argumen: adanya kebutuhan yang jelas dan mendesak; melakukan tranmisi nilai merupakan suatu proses peradaban; peranan sekolah sebagai pendidik moral yang vital pada saat melemahnya pendidikan dalam keluarga dan masyarakat serta agama; tetap adanya kode etik dalam masyarakat yang sarat konflik nilai; demokrasi adalah kebutuhan dasar dalam pendidikan moral; kenyataan yang sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas nilai; persoalan moral sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan adanya landasan yang kuat  dan dukungan luas terhadap pendidikan moral di sekolah.
Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar memberi pengetahuan pada tataran koginitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan konatif melalui mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan. Namun demikian harus diakui karena kondisi jaman yang berubah dengan cepat, maka upaya-upaya tersebut ternyata belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap perubahan.
Kebutuhan akan adanya pendidikan karakter bukan hanya dianggap penting tetapi sangat mendesak (urgen) mengingat berkembangnya perilaku negatif  dewasa ini melalui tayangan dalam media cetak maupun noncetak (televisi, jaringan maya, dll) yang memuat fenomena dan kasus perseteruan dalam berbagai kalangan yang memberi kesan seakan-akan bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis kepercayaan diri yang berkepanjangan.
Urgensi dari pelaksanaan komitmen nasional pendidikan karakter, telah dinyatakan pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa  sebagai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, yang  dibacakan pada akhir khir Sarasehan Tanggal 14 Januari 2010, sebagai berikut.
a.    Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yg tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh.
b.    Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sbg proses pembudayaan.  Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh.
c.    Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orangtua. Oleh karena itu pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut.
d.    Dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.

III.    Konsep Karakter dan Pendidikan Karakter
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Komponen karakter
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Menurut Lickona (1991: 53) bahwa ada komponen karakter yang baik yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling  atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral.

Moral knowing (pengetahuan tentang moral):
1.      kesadaran moral (moral awareness),
2.      pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values),
3.      penentuan sudut pandang (perspective taking),
4.      logika moral (moral reasoning),
5.      keberanian mengambil sikap (decision making), dan
6.      pengenalan diri (self knowledge)

Moral feeling (perasaan moral):
1.      kesadaran akan jati diri (conscience),
2.      percaya diri (self esteem),
3.      kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty),
4.      cinta kebenaran (loving the good),
5.      pengendalian diri (self control),
6.      kerendahan hati (humility)

Moral action (perbuatan atau tindakan moral):
1.      kompetensi (competence),
2.      keinginan (will),
3.      kebiasaan (habit).

Karakter berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Nilai-nilai karakter
Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan serta kebangsaan. Pada tingkat satuan pendidikan, indikator keberhasilan pendidikan karakter adalah terbentuknya peserta didik seperti yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) berdasarkan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”

IV.    Strategi Pengembangan Pendidikan Karakter di Indonesia
Pengembangan nilai/karakter dapat dilihat pada dua latar/domain, yaitu pada latar makro dan latar mikro. Latar makro bersifat nasional yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan dan ilmpementasi pengembangan nilai/karakter yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional. Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan,  pelaksanaan, dan evaluasi hasil.
Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi belajar dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentulkan karakter dengan menerapkan kegiatan yang terstruktur (structured learning experiences). Sementara itu dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi (persistence life situation) yang memungkinkan peserta didik di sekolahnya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya  membiasakan diri berprilaku sesuai nilai dan menjadi karakter yang telah diinternalisasi dan dipersonalisasi dari dan melalui proses intervensi. Kedua proses tersebut -intervensi dan habituasi- harus dikembangkan secara sistemik dan holistik
Pada konteks mikro pengembangan karakter berlangsung dalam konteks suatu satuan pendidikan atau sekolah secara holistik (the whole school reform). Sekolah sebagai leading sector, berupaya memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara terus menerus proses pendidikan karakter di sekolah. Program pengembangan karakter pada latar mikro  yaitu kegiatan belajar mengajar ®budaya sekolah ® kegiatan kegiatan ekstrakurikuler ® kegiatan keseharian di rumah.

V.    Pendidikan Karakter Secara Terpadu melalui Pembelajaran  Sains
Ada dua  pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan kaitannya dengan  proses pembelajaran, yaitu: (1) sejauhmana efektivitas guru dalam melaksanakan pengajaran, dan (2) sejauhmana siswa dapat belajar dan menguasai materi pelajaran seperti yang diharapkan. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila guru dapat menyampaikan keseluruhan materi pelajaran dengan baik dan siswa dapat menguasai substansi tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Dewasa ini dikenal berbagai istilah mengenai pembelajaran, antara lain: pembelajaran kontekstual, pembelajaran PAIKEM, pembelajaran tuntas, pembelajaran berbasis kompetensi, dan sebagainya. Pembelajaran profesional pada dasarnya merupakan pembelajaran yang dirancang secara sistematis sesuai dengan tujuan, karakteristik materi pelajaran dan karakteristik siswa, dan dilaksanakan oleh guru yang profesional dengan dukungan fasilitas pembelajaran memadai sehingga dapat mencapai hasil belajar secara optimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran profesional menggunakan berbagai teknik atau metode dan media serta sumber belajar yang bervariasi sesuai dengan karakteristik materi dan peserta didik. Karakteristik pembelajaran profesional antara lain: efektif, efisien, aktif, kreatif, inovatif, menyenangkan, dan mencerdaskan.
Pendidikan karakter secara terpadu di dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku

Definisi sains
Sains merupakan aktivitas mental dan fisik manusia melalui proses investigasi yang sistematis dalam memperoleh informasi-informasi yang dapat menggambarkan keteraturan alam semesta. Hasil investigasi yang sistematis tersebut diperoleh pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum, dan model.
Collette & Chiappetta (1993: 21) menggambarkan beberapa tujuan pembelajaran sains di sekolah yaitu:
”(1) to develop scientific and technological process and inquiry skills, (2) to provide scientific and technical knowledge, (3) to use the skills and knowledge of science and technology as they apply to personal and social decisions, (4) to enhance the developement of attitudes, values, and appreciation of science and technology, and (5) to study the interactions among science, technology, and society in the context of science related social issues”.  
Menurut pandangan di atas, pembelajaran sains di sekolah bertujuan untuk (1) mengembangkan proses ilmiah dan keterampilan inkuiri; (2) meningkatkan pengetahuan ilmiah; (3) menyiapkan peserta didik untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab terhadap isu-isu sosial yang berhubungan dengan sains; (4) mengembangkan sikap sains dan nilai sains; dan (5) mempelajari hubungan antara sains, teknologi, dan masyarakat.
Agar peserta didik dapat mencapai tujuan di atas, maka pembelajaran sains harus dirancang secara sistematis dan dan dilaksanakan secara aktif, interaktif, kreatif, efisien, dan menyenangkan. Pembelajaran sebagai suatu sistem adalah suatu kombinasi terorganisasi yang meliputi unsur-unsur manusiawi, material, perlengkapan dan prosedur yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Dari gambaran ini, maka komponen-komponen sistem pembelajaran meliputi peserta didik, tujuan, kondisi, sumber-sumber belajar, dan hasil belajar, dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembelajaran adalah guru, siswa, lingkungan, dan sarana dan prasarana.
Pembelajaran sebagai suatu proses merupakan suatu  kegiatan yang melibatkan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Kegiatan perencanaan Wina Sanjaya mengatakan perencanaan pembelajaran minimal memiliki 4 unsur, yaitu;  adanya tujuan yang harus dicapai, adanya strategi untuk mencapai tujuan, sumber daya yang dapat mendukung, dan implementasi setiap keputusan. Langkah-langkah penyusunan rencana pembelajaran meliputi: merumuskan tujuan belajar, menetapkan pengalaman belajar, menetapkan kegiatan belajar mengajar, menentukan orang-orang yang terlibat, memilih alat dan bahan, menetapkan fasilitas fisik, dan menetapkan evaluasi.
Ada banyak cara mengintergrasikan nilai-nilai karakter ke dalam mata pelajaran sains, antara lain: mengungkapkan nilai-nilai yang dalam sains, pengintegrasian langsung di mana nilai-nilai kakater menjadi bagian terpadu dari sains, menggunakan perumpamaan dan membuat perbandingan dengan kejadian-kejadian serupa dalam hidup para siswa, mengubah hal-hal negatif menjadi nilai positif, mengungkapkan nilai-nilai melalui diskusi, menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai, menceritakan kisah hidup ahli atau penemu dalam bidang sains, menggunakan lagu-lagu dan musik untuk mengintegrasikan nilai-nilai, menggunakan drama untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai, menggunakan berbagai kegiatan seperti kegiatan pelayanan, field trip dan klub-klub atau kelompok kegiatan untuk memunculkan nilai-nilai kemanusiaan.
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implemntasi dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dalam Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses menggambarkan tentang tahapan pelaksanaan pembelajaran, yaitu pendahuluan, inti, dan penutup. Kegiatan inti melibatkan kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Pada tahap eksplorasi peserta didik difasilitasi untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan mengembangkan sikap melalui kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada tahap elaborasi, peserta didik diberi peluang untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan serta sikap lebih lanjut melalui sumber-sumber dan kegiatan-kegiatan pembelajaran lainnya sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik lebih luas dan dalam. Pada tahap konfirmasi, peserta didik memperoleh umpan balik atas kebenaran, kelayakan, atau keberterimaan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh siswa. Dalam setiap tahapan pada pelaksanaan pembelajaran tersirat nilai atau karakter yang akan dikembangkan pada peserta didik.
Dalam memandu dan memfasilitasi pembelajaran, yang dilakukan pendidik adalah (1) menggunakan inkuiri ketika berinteraksi dengan peserta didik, (2) merancang kegiatan untuk komunikasi lisan dan tertulis antara peserta didik tentang konsep-konsep sains, (3) memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menerima dan membagi tanggung jawab terhadap belajar mereka sendiri, dan (4) memberikan keberanian kepada peserta didik untuk berpartisipasi secara penuh dalam belajar sains.
Pembelajaran sains berbasis inkuiri pada intinya mencakup keinginan bahwa pembelajaran seharusnya didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan peserta didik. Pembelajaran menginginkan peserta didik bekerja bersama untuk menyelesaikan masalah daripada menerima pengajaran langsung dari pendidik. Pendidik dipandang sebagai fasilitator dalam pembelajaran daripada bejana bagi pengetahuan. Pekerjaan pendidik dalam lingkungan pembelajaran inkuiri adalah bukan menawarkan pengetahuan melainkan membantu peserta didik selama proses mencari pengetahuan mereka sendiri.
Karakteristik dari pendekatan inkuiri ini adalah pendidik tidak mengkomunikasikan pengetahuan, tetapi membantu peserta didik untuk belajar bagi mereka sendiri, kemudian topik, masalah yang dipelajari, dan metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan dapat ditentukan oleh peserta didik, dapat ditentukan oleh pendidik, dan dapat ditentukan bersama oleh peserta didik dan pendidik. Pembelajaran inkuiri memberi tekanan pada ide-ide konstruktivis dari belajar. Kemajuan belajar terbaik terjadi dalam situasi kelompok.
Kegiatan inkuiri dalam kelas mencakup kegiatan yang terjangkau. Beberapa kegiatan menyediakan kesempatan kepada peserta didik untuk mengobservasi, mengumpulkan data, dan menganalisis kejadian-kejadian dan gejala-gejala. Pendidik menilai keunggulan usaha mereka, menguji kembali dan mengumpulkan data tambahan jika perlu, dan membuat pernyataan tentang hasil dari temuan mereka. Mereka merencanakan dan menempelkan hasil kerja mereka pada tempat yang disediakan dan menerima dan menanggapi kritik yang membangun dari teman-teman lainnya.
Pada setiap langkah dari inkuiri, pendidik memandu, memberi tantangan dan menganjurkan peserta didik belajar. Pendidik menghubungkan tindakan-tindakan ini dengan keinginan-keinginan peserta didik, memutuskan kapan dan bagaimana memandu, kapan menuntut kerja keras dari peserta didik, kapan menyediakan informasi, kapan menyediakan peralatan-peralatan, dan kapan menghubungkan peserta didik dengan sumber-sumber lain.
Pendidik yang efektif terus-menerus menciptakan peluang yang menantang peserta didik dan mengembangkan inkuiri dengan mengajukan pertanyaan. Meskipun eksplorasi terbuka sangat berguna bagi peserta didik ketika mereka menemukan materi dan gejala baru, pendidik ingin campur tangan untuk menantang peserta didik atau eksplorasi mungkin tidak mengarah ke pemahaman. Intervensi yang prematur menghilangkan kesempatan peserta didik untuk berhadapan dengan masalah dan menemukan pemecahannya. Pendidik juga harus memutuskan kapan memberi tantangan kepada peserta didik untuk tanggap terhadap pengalaman-pengalaman mereka. Pada bagian ini, peserta didik diminta untuk menjelaskan, mengklarifikasi, dan menguji secara kritis dan menilai kerja mereka.
Salah satu langkah penting dari inkuiri dan belajar sains adalah komunikasi lisan dan tertulis yang banyak memberikan perhatian dari peserta didik tentang bagaimana mereka tahu, apa yang mereka tahu dan bagaimana pengetahuan mereka berkaitan dengan gagasan-gagasan yang luas dan dunia di luar kelas. Pendidik secara langsung mendukung dan memandu komunikasi ini dengan dua cara yaitu pendidik menginginkan peserta didik untuk merekam hasil kerja mereka dan pendidik mengembangkan bentuk komunikasi lain yang berbeda seperti komunikasi tertulis, komunikasi lisan, dan lain-lain.
Dengan menggunakan struktur kelompok yang kolaboratif, pendidik menganjurkan untuk saling bergantung di antara anggota kelompok, membantu peserta didik untuk bekerja bersama-sama dalam kelompok kecil sehingga semua peserta didik berpartisipasi dalam mengumpulkan data dan dalam mengembangkan laporan kelompok. Pendidik juga memberi peluang kepada kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja mereka dan untuk berpikir bersama dengan teman sekelas dalam menjelaskan, mengklarifikasi, dan membuktikan kebenaran mengenai apa yang telah mereka pelajari. Aturan peserta didik dalam interaksi kelompok kecil dan besar adalah mendengarkan, menganjurkan peserta didik untuk berpartisipasi, dan menentukan bagaimana memandu diskusi.
Pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertanggung jawab terhadap kerja mereka sendiri. Pendidik juga menciptakan peluang bagi peserta didik sehingga peserta didik tersebut bertanggung jawab terhadap belajarnya sendiri, baik secara individu maupun sebagai anggota kelompok. Pendidik melakukan hal ini dengan mendukung gagasan dan pertanyaan peserta didik dan dengan menganjurkan peserta didik untuk mengikuti mereka. Pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk aktif dalam perancangan dan penjabaran hasil investigasinya, dan membantu membuat persiapan untuk presentasi hasil kerja peserta didik kepada teman-temannya, dan dalam penilaian peserta didik terhadap kerja mereka sendiri.
Dalam semua aspek pembelajaran sains, pendidik yang terampil mengenal keragaman peserta didik di dalam kelasnya dan mengatur kelas sehingga semua peserta didik mempunyai peluang untuk berpartisipasi. Pendidik memantau partisipasi peserta didik, kemudian secara hati-hati mengontrol semua anggota kelompok kolaboratif yang sedang bekerja dengan bahan-bahan atau salah seorang peserta didik yang sedang membuat semua keputusan. Monitoring ini sangat penting dalam kelas yang memiliki keragaman seperti faktor sosial.
Pendidik sains mengatur kelas sehingga semua peserta didik mempunyai peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam aktivitas belajar. Pendidik yang cacat fisik mungkin membutuhkan bantuan khusus, peserta didik yang mengalami kendala dalam bahasa Indonesia dianjurkan untuk menggunakan bahasa yang dipakainya sehari-hari, peserta didik yang mengalami kesulitan belajar mungkin membutuhkan waktu tambahan untuk melengkapi aktivitas sainsnya.
Dalam melaksanakan pembelajaran sains pendidik menggunakan tahap-tahap atau fase dalam pembelajaran. Fase pembelajaran sains adalah langkah-langkah dalam merencanakan pelajaran, merencanakan pembelajaran, merencanakan belajar, dan mengembangkan kurikulum. Langkah-langkah pembelajaran sains merupakan suatu fase pembelajaran di mana setiap fase terdapat fokus pembelajaran, kegiatan yang dilakukan peserta didik, kegiatan yang dilakukan pendidik, dan hasil belajar. Fase-fase pembelajaran sains tersebut mencakup fase menarik perhatian (engagement), fase eksplorasi, fase eksplanasi, fase elaborasi, dan fase evaluasi (Collette & Chiappetta,1993: 96 - 97).
Pada bagian terdahulu telah digambarkan bahwa sains merupakan kumpulan pengetahuan, cara berpikir, cara menginvestigasi, dan sikap ilmiah. Secara umum peranan pendidik dalam pembelajaran sains adalah melibatkan peserta didik dengan berbagai pengalaman yang membantu mengembangkan pengtahuan, keterampilan proses, dan sikap sains. Harlen (Patta Bundu, 2006: 32) mengemukakan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran keterampilan sains:
a)      Memberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan proses dalam menangani setiap materi dan gejala;
b)      Memberikan kesempatan untuk berdiskusi baik dalam kelompok kecil maupun dalam kelompok besar;
c)      Mendengarkan gagasan dikemukakan peserta didik dan telaah hasil yang diperoleh serta pelajari serta pelajari keterampilan apa yang digunakan untuk menyusun gagasan tersebut;
d)      Mendorong adanya reviu kritis pada setiap kegiatan yang telah dilaksanakan; dan
e)      Menyiapkan teknik yang luwes untuk mengembangkan keterampilan proses.
Salah satu tujuan pengembangan sikap ilmiah adalah untuk menghindari munculnya sikap negatif dari peserta didik. Harlen (Patta Bundu, 2006: 45) mengemukakan empat peranan utama pendidik dalam mengembangkan sikap ilmiah yaitu:
a)    Memberikan contoh sikap ilmiah seperti memperlihatkan minat yang tinggi pada sesuatu yang baru, membantu peserta didik untuk menemukan sesuatu yang baru, menerima semua temuan peserta didik, dan menanamkan pengertian bahwa apa yang ditemukan peserta didik dapat mengubah ide/pendapat sebelumnya;
b)   Memberi penguatan positif kepada peserta didik seperti memberi penguatan, penghargaan, dan pujian yang tulus;
c)    Menyediakan kesempatan mengembangkan sikap ilmiah; dan
d)   Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk merefleksikan perilaku dan motivasinya pada bidang sains.

VI.    Penutup
Pribadi yang berkarakter adalah pribadi yang bermoral yaitu pribadi yang mengenal kebaikan, menginginkan kebaikan, dan yang melaksanakan hal-hal yang baik. Pembentukan pribadi yang berkarakter tidak terjadi dalam jangka waktu yang singkat tetapi memerlukan waktu yang lama. Dan untuk dapat mengaktualisasikan nilai-nilai karakter tersebut maka perlu adanya intervensi dan habituasi (pemberdayaan dan pembudayaan) dan juga adanya komponen pendukung lainnya.
Pengembangan karakter dapat dilakukan secara makro (nasional) maupun secara mikro yaitu pada tingkatan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pada tingkatan satuan pendidikan pengembangan karakter dilakukan melalui integrasi dengan mata pelajaran, budaya sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler. Integrasi nilai karakter dalam pelaksanaan pembelajaran sains terjadi melalui kegiatan pendahuluan, inti (eksplorasi, elaborasi, konfirmasi), dan penutup. Integrasi pembelajaran sains dengan nilai karakter diharapkan agar peserta didik selain menunjukkan perilaku berkarakter sains juga menunjukkan perilaku berkarakter yang diterima secara universal.


Daftar Acuan:

Collette, A.T. & Chiappetta, E. I. (1993). Science Instruction in The Middle and Secondary Schools. New York: Macmillan Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Jakarta
___________. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk  Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
___________. (2007). Lampiran Peraturan Menteri  Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. (2010). Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama.Jakarta: Kemendiknas.
Lickona, T. (1991). Educating for Character, How Our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Martin R., Sexton, C., Franklin, T. & Gerlovich, J. (2005). Teaching Science for All Children, Inquiry Methods for Constructing Understanding. New Jersey: Pearson Education, Inc
Patta Bundu. (2006). Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.
Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. (2010).Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas.
Trowbridge, L. W., Bybee, R. W., & Powell, J. C. (2000). Teaching Secondary School Science: Strategies for Developing Scientific Literacy. New Jersey: Prentice Hall, Inc
Wina Sanjaya. (2008). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran.  Jakarta: Kencana Prenada Media Goup.






Senin, 15 Agustus 2011

STANDAR PENILAIAN BUKU PELAJARAN SAINS


STANDAR PENILAIAN BUKU PELAJARAN SAINS
Sumber: Pusat Perbukuan Nasional

A.    Landasan Pengembangan Standar Penilaian

 1.       Latar Belakang
Sains adalah salah satu mata pelajaran utama dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, khususnya Pendidikan Dasar. Sains adalah mata pelajaran yang dianggap sulit oleh sebagian besar peserta didik, mulai dari jenjang Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, dan mutu pendidikan sains di Indonesia, ditinjau dari perolehan NEM masih memprihatinkan. Semakin tinggi jenjang pendidikan,  maka perolehan rata-rata NEM sains atau IPA siswa menjadi semakin kecil. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, walaupun telah banyak upaya yang dilakukan, baik oleh pemerintah, swasta maupun para guru. Upaya tersebut mencakup dana, waktu, tenaga, dan pikiran yang telah banyak dicurahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan IPA, namun belum memberikan hasil yang memuaskan.
Adakah hal yang salah dalam pendidikan sains kita? Apabila kita melihat fakta di lapangan; para siswa kita sangat pandai menghafal, tetapi kurang terampil dalam mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini mungkin terkait dengan kecenderungan menggunakan hafalan sebagai wahana untuk menguasai ilmu pengetahuan, bukan kemampuan berpikir. Tampaknya pendidikan sains di Indonesia lebih menekankan pada abstract conceptualization dan kurang mengembangkan active experimentation, padahal seharusnya keduanya seimbang secara proporsional.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan mengubah paradigma tersebut adalah menyediakan buku sebagai rujukan yang baik dan benar baik bagi guru maupun siswa, karena buku pelajaran merupakan salah satu sarana yang penting dalam menunjang proses kegiatan belajar mengajar. Menurut Bahrul Hayat dkk. (2001) dalam “Pedoman Sistem Penilaian”, buku teks adalah buku pelajaran yang berperan dalam menentukan keberhasilan pendidikan peserta didik. Buku pelajaran yang dimaksud adalah buku yang menjadi pegangan baik bagi siswa maupun guru, serta berisi berbagai informasi yang merupakan penjelasan rasional dari kurikulum yang menjadi rujukan. Buku pelajaran tersedia untuk setiap jenjang pendidikan, yaitu Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Sekolah Luar Biasa, dan Perguruan Tinggi/Universitas.
Buku pelajaran sains yang ada di lapangan, ditinjau dari jumlah, jenis, maupun kualitasnya sangat bervariasi. Sementara itu, buku pelajaran pada umumnya menjadi rujukan utama dalam suatu proses pembelajaran. Guru di lapangan seringkali tidak merujuk pada kurikulum dalam perencanaan dan implementasi pembelajarannya tetapi pada buku pelajaran yang digunakan. Dengan demikian, jika mutu buku yang ada tidak memenuhi standar mutu, terutama dalam kaitannya dengan konsep dan aplikasi konsep (miskonsepsi, bahkan salah konsep), maka yang terjadi adalah buku tersebut akan menjadi sumber pembodohan, bukan sumber pencerdasan anak didik; tentunya hal ini sangat membahayakan dunia pendidikan.
 Buku pelajaran memegang peran yang cukup menentukan dalam proses peningkatan mutu pembelajaran. Oleh karena itu, buku pelajaran sains yang beredar harus memiliki kualitas yang memenuhi standar kualitas mutu buku pelajaran yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan Pemerintah melalui Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional harus melakukan fungsi kontrol yang ketat terhadap mutu buku pelajaran tersebut.

 2.       Hakikat Sains (Ilmu Pengetahuan Alam)
Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang pokok bahasannya adalah alam dengan segala isinya. Hal yang dipelajari dalam sains adalah sebab-akibat, hubungan kausal dari kejadian-kejadian yang terjadi di alam. Menurut Powler (dalam Winataputra 1993), sains adalah ilmu yang sistematis dan dirumuskan dengan mengamati gejala-gejala kebendaan, dan didasarkan terutama atas pengamatan induksi. Carin dan Sund (1993) mendefinisikan sains sebagai pengetahuan yang sistematis atau tersusun secara teratur, berlaku umum, dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. Aktivitas dalam sains selalu berhubungan dengan percobaan-percobaan yang membutuhkan keterampilan dan kerajinan. Secara sederhana, sains dapat juga didefinisikan sebagai apa yang dilakukan oleh para ahli sains. Dengan demikian, sains bukan hanya kumpulan pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi menyangkut cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah. Ilmuwan sains selalu tertarik dan memperhatikan peristiwa alam, selalu ingin mengetahui apa, bagaimana, dan mengapa tentang suatu gejala alam dan hubungan kausalnya.
Dalam sains, terdapat tiga unsur utama, yaitu sikap manusia, proses atau metodologi, dan hasil yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Sikap manusia yang selalu ingin tahu tentang benda-benda, makhluk hidup, dan hubungan sebab-akibatnya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang selalu ingin dipecahkan dengan prosedur yang benar. Prosedur tersebut meliputi metode ilmiah. Metode ilmiah mencakup perumusan hipotesis, perancangan percobaan, evaluasi atau pengukuran, dan akhirnya menghasilkan produk berupa fakta-fakta,  prinsip-prinsip, teori, hukum, dan sebagainya.

 3.       Proses Pembelajaran
Prinsip proses pembelajaran adalah belajar, sedangkan belajar adalah suatu proses perubahan perilaku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Oleh karena itu, pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang kondusif sehingga proses belajar dapat tumbuh dan berkembang. Karena pembelajaran bersifat rekayasa perilaku, maka proses pembelajaran terikat dengan tujuan. Dari sudut pandang sosiologis, proses pembelajaran adalah proses penyiapan peserta didik untuk dapat menjalankan kehidupannya di masyarakat. Sekolah adalah suatu sistem sosial yang merupakan miniatur masyarakat luas. Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak akan terlepas dari proses sosialisasi, dan apa yang dipelajari di sekolah seharusnya merupakan cerminan keadaan nyata di sekitar peserta didik yang dapat dimanfaatkan atau diimplementasikan dalam masyarakat.
Permasalahan dalam proses belajar mengajar dewasa ini adalah kecenderungan umum bahwa para siswa hanya terbiasa menggunakan sebagian kecil saja dari potensi atau kemampuan berpikirnya. Dikhawatirkan mereka menjadi malas untuk berpikir dan terbiasa malas berpikir mandiri. Kecenderungan ini sama saja dengan proses pemandulan dan sama sekali bukan proses pencerdasan. Para siswa dan juga gurunya masih terbiasa belajar dengan domain kognitif rendah. Oleh karena itu, metode berpikir dalam kegiatan mereka belajarpun belum menyentuh domain afektif dan konatif yang diperlukan. Aspek lain berkenaan dengan konsep diri dan proses pengembangan kemandirian dalam berpikir, bersikap dan berperilaku. Belajar berani berpikir obyektif apalagi berbeda dengan buku dan keterangan guru, berpikir logis atau kritis, dialogis dan argumentatif umumnya masih langka di sekolah-sekolah kita. Selain itu sistem penilaian secara formatif masih amat terbatas jika dibandingkan dengan penilaian sumatif.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas riil di lapangan kegiatan belajar mengajar di sekolah pada umumnya dewasa ini cenderung monoton dan tidak menarik, sehingga beberapa pelajaran ditakuti dan selalu dianggap sulit oleh siswa, misalnya matematika dan sains. Hal ini ditunjukkan oleh adanya korelasi positif dengan perolehan NEM pelajaran tersebut yang selalu  menempati urutan terendah. Beberapa penyebabnya adalah pembelajaran di sekolah khususnya, sains lebih menekankan pada aspek kognitif dengan menggunakan hafalan dalam upaya menguasai ilmu pengetahuan, bukan mengembangkan keterampilan berpikir siswa, mengembangkan aktualisasi konsep dengan diimbangi pengalaman konkret dan aktivitas bereksperimen. Pembelajaran sains berlangsung dengan hanya menyangkut substansi, tanpa mengembangkan kemampuan melakukan yang berhubungan dengan proses-proses mental seperti penalaran dan sikap ilmiah (Supangkat 1991). Salah satu penyebab hal ini adalah temuan Slimming (1998) yang menemukan bahwa perilaku mengajar guru di Indonesia cenderung bersifat belajar pasif dengan menggunakan metode ceramah hampir di sebagian besar aktivitas proses belajar mengajarnya di kelas.
Permasalahan ini semestinya menjadi perhatian serius dari Pemerintah yang perlu  berupaya keras untuk mencari terobosan-terobosan dalam memecahkannya, baik melalui pengembangan materi pembelajaran baru maupun melalui pemberdayaan metodik-didaktik yang sudah ada. Di samping faktor penunjang lain di luar akademik antara lain penyediaan buku pelajaran yang bermutu, baik, dan dapat mengembangkan pembelajaran dengan paradigma baru tersebut.
Tujuan kurikulum dengan paradigma yang baru pada prinsipnya adalah tetap conceptual mastery. Tetapi hal tersebut diperoleh dengan pendekatan berbasis kompetensi, dengan tujuan agar sistem pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif terhadap perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan tuntutan desentralisasi. Dengan demikian lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya dengan kepentingan daerah, dan karakteristik peserta didik, serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan kurikulum yang berdeverensiasi.
Peserta didik dituntut untuk menguasai konsep-konsep dasar yang telah dipilih secara selektif melalui aktivitas pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa. Siswa harus mampu mengkonstruksi pengetahuan melalui aktivitas kontekstual yang dikembangkan dalam pembelajaran dimana siswa terlibat langsung dalam pengalaman sehari-hari yang berkaitan dengan materi yang diajarkan dan aktif melakukan eksperimen, melakukan pengolahan data, serta membuat kesimpulan. Dengan demikian, pembelajaran yang dikembangkan di dalam kelas perlu dikaitkan dengan situasi nyata dimana siswa berada, mendorong siswa membuat hubungan antara konsep yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan keseharian siswa di dalam masyarakat. Akhirnya pembelajaran lebih bermakna dan proses belajar lebih penting daripada hasil belajar. Dengan dukungan situasi yang demikian, siswa perlu dikondisikan di dalam situasi pembelajaran di kelas yang memungkinkan siswa mengerti dan memahami makna belajar, manfaat, peran dan status siswa dalam proses pembelajaran tersebut. Jika siswa dapat memahami dan mengerti hal tersebut, maka siswa akan berusaha untuk mencapainya dan memerlukan guru sebagai pembimbing, fasilitator, dan mediator.
Pembelajaran yang ingin dikembangkan berorientasi pada proses bagaimana memperoleh informasi, cara sains dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir yang dikaitkan dengan situasi nyata dimana siswa berada dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran tersebut dikembangkan dengan pendekatan kontekstual.
Dalam buku “Pendekatan Kontekstual” yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menerapkan ketujuh komponen dalam pembelajarannya. Ketujuh komponen tersebut adalah konstruktivisme, bertanya, inquiri, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya.
Konstruktivisme merupakan filosofi pendekatan kontekstual yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh siswa, melalui pemecahan masalah dan menemukan sesuatu yang berguna. Proses menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, pengetahuan, dan keterampilan sehingga siswa diharapkan menemukan sendiri hasilnya. Tahap-tahap siswa menemukan merupakan cara berpikir ilmiah melalui keterampilan proses, di antaranya adalah merumuskan masalah, melakukan observasi, melakukan analisis dan menyajikan hasil serta mengkomunikasikan. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, bertanya ini tidak hanya guru terhadap siswa, tetapi juga siswa terhadap guru dan terhadap teman sendiri. Bagi siswa aktivitas bertanya adalah untuk menggali informasi, mengkomunikasikan apa yang telah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Di dalam proses pembelajaran di kelas dengan pendekatan kontekstual, dikondisikan terciptanya suasana saling belajar, siswa belajar dari guru, dari buku dan sumber informasi lainnya, dari sesama teman, serta guru belajar dari siswa, sehingga di dalam ruang kelas tersebut terjadi masyarakat belajar.
Pemodelan dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah sesuatu yang dapat ditiru oleh siswa untuk memudahkan, memperlancar, membangkitkan ide dalam proses pembelajaran. Model dapat diperoleh dari guru, siswa, atau dari luar sekolah yang relevan dengan konteks dan materi yang sedang menjadi topik bahasan.

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari, tentang apa yang sudah dilakukan masa lalu dan merupakan respon terhadap kejadian. Serta  aktivitas atau pengetahuan baru yang diterima atau dilakukan. Penilaian yang sebenarnya adalah proses pengumpulan berbagai data yang diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat proses pembelajaran yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Jadi, penilaian autentik adalah penilaian terhadap pengetahuan dan performansi yang diperoleh siswa selama aktivitas pembelajaran berlangsung.
Seperti diketahui, sasaran belajar sains adalah membangun gagasan saintifik setelah para siswa berinteraksi dengan lingkungan, peristiwa, dan informasi dari sekitarnya. Pandangan konstruktivisme sebagai filosofi pendidikan sains mutakhir menganggap semua siswa memiliki gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan, pengetahuan, fakta akan gejala alam disekitarnya, meskipun hal tersebut kadang terkesan naif dan miskonsepsi. Mereka (para siswa) seringkali mempertahankan gagasan atau pengetahuan naif tersebut secara kokoh, karena gagasan atau pengetahuan itu mengait dengan gagasan atau pengetahuan awal lainnya yang sudah lebih dulu dibangun dalam wujud struktur kognitifnya.
Menurut pandangan ini, kegiatan pembelajaran dimulai dari apa yang diketahui siswa, sehingga pembelajaran tidak dapat dilakukan dengan cara indoktrinasi gagasan atau pengetahuan saintifik supaya siswa mau mengganti dan memodifikasi gagasannya yang non saintifik menjadi gagasan atau pengetahuan yang saintifik. Dengan demikian, arsitek peubah gagasan atau pengetahuan dalam diri siswa adalah siswa sendiri. Sedangkan guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang menyediakan, mempermudah, bahkan kalau bisa mempercepat berlangsungnya proses belajar. Dalam proses konstruksi itu, menurut Von Glaserfeld (Jaskarti, 2002) diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada pengalaman yang lain.
Beberapa bentuk kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme adalah diskusi di mana siswa mau mengungkapkan gagasan, pengujian dan penelitian sederhana, demo serta  peragaan prosedur ilmiah, juga kegiatan lain yang memberi ruang kepada siswa untuk dapat mempertanyakan, memodifikasi, dan mempertajam gagasannya.
Dalam belajar secara konstruktif, para siswa mempunyai kesempatan untuk menyatakan, menguji, memodifikasi, dan juga meninggalkan ide-ide awal mereka yang sudah ada sebelumnya dan mengadopsi ide-ide baru. Melalui tugas-tugas dalam pelajaran sains yang dikaitkan dengan tingkat perkembangan intelektualnya, para siswa mempunyai kesempatan untuk memahami alam secara aktif dengan membangun pemahaman tentang fenomena alam melalui aktivitas nyata kehidupan sehari-hari
Menurut Carr, dkk (1989) konstruktivisme sebagai sebuah pendekatan dalam proses pembelajaran merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat menjanjikan akan adanya perubahan pada hasil pembelajaran. Pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada siswa sebagai pusat pembelajaran, dan pendekatan seperti ini diharapkan dapat lebih merangsang dan memberi peluang kepada siswa untuk belajar, berpikir inovatif, dan mengembangkan potensinya secara optimal.
a.   Proses Pembelajaran Sains
Sains pada dasarnya mencari hubungan kausal antara gejala-gejala alam yang diamati. Oleh karena itu, proses pembelajaran sains seharusnya mengem-bangkan kemampuan bernalar dan berpikir sistematis selain kemampuan deklaratif yang selama ini dikembangkan. Salah satu inovasi sebagai salah satu usaha adalah mencari model-model pembelajaran sains yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan sains.
Hal ini berarti, belajar sains tidak hanya belajar dalam wujud pengetahuan deklaratif berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, tetapi juga belajar tentang pengetahuan prosedural berupa cara memperoleh informasi, cara sains dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir. Belajar sains memfokuskan kegiatan pada penemuan dan pengolahan informasi melalui kegiatan mengamati, mengukur, mengajukan pertanyaan, mengklasifikasi, memecahkan masalah, dan sebagainya.
Pembelajaran sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung. Dengan demikian, siswa perlu dibantu untuk mampu mengembangkan sejumlah pengetahuan  yang menyangkut kerja ilmiah dan pemahaman konsep serta aplikasinya. Bahan kajian kerja ilmiah adalah :
1)      mampu menggali pengetahuan melalui penyelidikan/penelitian,
2)      mampu mengkomunikasikan pengetahuannya,
3)      mampu mengembangkan keterampilan berpikir,
4)      mampu mengembangkan sikap dan nilai ilmiah.
Selanjutnya, bahan kajian sains yang berkaitan dengan pemahaman konsep dan penerapannya adalah:
1)      memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang makhluk hidup dan proses kehidupan;
2)      memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang materi dan sifatnya;
3)      memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang energi dan perubahannya;
4)      memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang bumi dan alam semesta; serta
5)      memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang hubungan antara sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
Keterampilan proses yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran sains, diantaranya adalah keterampilan mengamati dengan seluruh indera, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan, menafsirkan, mengkomunikasikan, hasil temuan secara beragam, menggali dan memilah informasi faktual untuk menguji gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari.
Prinsipnya pembelajaran sains, yaitu cara memberi tahu dan cara berbuat, akan membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitarnya dengan mendudukkan siswa sebagai pusat perhatian dalam  interaksi aktif dengan teman, lingkungan, dan nara sumber lainnya.
Oleh karena itu, hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan pembelajaran sains seperti yang dikemukakan dalam Kurikulum Sains Berbasis Kompetensi, adalah :
1)      empat pilar pendidikan dari Unesco,
2)      inkuiri sains,
3)      konstruktivisme,
4)      sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat,
5)      pemecahan masalah, serta
6)      pembelajaran sains yang bermuatan nilai.

b.   Buku Pelajaran Sains dan Peranannya.
Buku pelajaran merupakan salah satu sumber pengetahuan bagi siswa di sekolah yang merupakan sarana yang sangat menunjang proses kegiatan belajar mengajar. Buku pelajaran sangat menetukan keberhasilan pendidikan para siswa dalam menuntut pelajaran di sekolah. Oleh karena itu, buku pelajaran yang baik dan bermutu selain menjadi sumber pengetahuan yang dapat menunjang keberhasilan belajar siswa juga dapat membimbing dan mengarahkan proses belajar mengajar di kelas ke arah proses pembelajaran yang bermutu pula. Buku yang dirancang sesuai dengan kurikulum yang berlaku serta dikembangkan dengan paradigma baru akan mengarahkan proses pembelajaran pada arah yang benar sesuai tuntutan kurikulum dengan paradigma baru tersebut.
Buku pelajaran menurut Bahrul Hayat dkk (2001) meliputi buku teks utama dan buku teks pelengkap. Buku teks Utama berisi bahan-bahan pelajaran suatu bidang studi yang digunakan sebagai buku pokok bagi siswa dan guru. Sedangkan buku teks pelengkap adalah buku yang sifatnya membantu atau merupakan tambahan bagi buku teks utama dan digunakan oleh guru dan siswa.
Jenis buku pelajaran yang diharapkan adalah buku yang dapat menunjang terselenggaranya pembelajaran dengan pendekatan konstruktif sehingga buku tersebut dapat membelajarkan siswa, menjadi sumber inspirasi, dan sumber informasi baik bagi siswa maupun guru. Buku pelajaran yang baik adalah buku yang menjadi sumber ilmu pengetahuan, sehingga dapat menjadi media yang baik dan akan membantu mengoptimalkan proses belajar mengajar seperti yang diharapkan di atas. Jenis buku yang demikian diharapkan dapat membantu proses belajar mengajar yang efektif dan efisien,  sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pendidikan Sains.
Buku pelajaran sekolah merupakan sarana untuk mengkomunikasikan ilmu pengetahuan, berarti buku pelajaran yang digunakan di sekolah baik oleh guru maupun siswa harus jelas, lengkap, akurat, dan dapat mengkomunikasikan informasi, konsep, serta pengetahuan proseduralnya. Dengan demikian setiap buku pelajaran harus memiliki standar yang sesuai dengan tujuan dari buku pelajaran tersebut, yaitu sesuai dengan jenjang pendidikan, psikologi perkembangan siswa, kebutuhan dan tuntutan kurikulum, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Karakteristik Siswa
Proses perkembangan kognitif manusia sebenarnya mulai berlangsung semenjak ia dilahirkan. Menurut Jean Piaget, anak usia SD tergolong pada tahap concrete-operational. Pada fase ini kemampuan berpikirnya masih bersifat intuitif, yakni berpikir dengan mengandalkan ilham.
Dalam periode ini, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berpikir). Kemampuan satuan langkah berpikir ini berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri.  Anak sudah berkembang ke arah berpikir konkret dan rasional. Piaget menamakannya sebagai masa operasi konkret, masa berakhirnya berpikir khayal, dan mulai berpikir konkret.

B.     STANDAR PENILAIAN BUKU PELAJARAN SAINS

Setiap buku pelajaran diharapkan memenuhi standar-standar tertentu yang ditetapkan berdasarkan kebutuhan (siswa dan guru), perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kurikulum. Standar yang dimaksud dalam pedoman penilaian ini meliputi persyaratan, karakteristik, dan kompetensi minimum yang harus terkandung di dalam suatu buku. Standar penilaian dirumuskan dengan melihat tiga aspek utama, yaitu materi, penyajian, dan bahasa/keterbacaan.

  1.       Aspek Materi
Standar yang berkaitan dengan aspek materi yang harus ada dalam setiap buku pelajaran sains adalah sebagai berikut.
(1)   Kelengkapan materi.
(2)   Keakuratan materi.
(3)   Kegiatan yang mendukung materi.
(4)   Kemutakhiran materi.
(5)   Upaya meningkatkan kompetensi sains siswa.
(6)   Pengorganisasian materi mengikuti sistematika keilmuan.
(7)   Kegiatan pembelajaran mengembangkan keterampilan dan kemampuan berpikir.
(8)   Materi merangsang siswa untuk melakukan inquiry.
(9)   Penggunaan notasi, simbol dan satuan.
  2.       Aspek Penyajian
Standar yang berkaitan dengan aspek penyajian yang harus ada dalam setiap buku pelajaran sains adalah sebagai berikut.
(1)      Organisasi penyajian umum.
(2)      Organisasi penyajian per bab.
(3)      Materi disajikan dengan mempertimbangkan kebermaknaan dan kebermanfaatan.
(4)      Melibatkan siswa secara aktif.
(5)      Mengembangkan proses pembentukan pengetahuan.
(6)      Tampilan umum menarik.
(7)      Variasi dalam cara penyampaian informasi.
(8)      Meningkatkan kualitas pembelajaran.
(9)      Anatomi buku pelajaran sains.
(10)  Memperhatikan kode etik dan hak cipta.
(11)  Memperhatikan kesetaraan gender dan kepedulian terhadap lingkungan.
  3.       Aspek Bahasa/Keterbacaan
Standar yang berkaitan dengan aspek bahasa/keterbacaan yang harus ada dalam setiap buku pelajaran sains adalah sebagai berikut:
(1)   Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
(2)   Peristilahan.
(3)   Kejelasan bahasa.
(4)   Kesesuaian bahasa.

STANDAR PENILAIAN BUKU PELAJARAN SAINS

Aspek
Kriteria
Indikator
Materi




























Kelengkapan materi
§  Mencakup materi yang ada di kurikulum yang berlaku.
§  Meliputi kompetensi dasar
§  Tidak terjadi pengulangan yang berlebihan.
Keakuratan materi
§  Kebenaran konsep (definisi, rumus, hukum, dan sebagainya).
§  Aplikasi kontekstual dalam kehidupan nyata
Kegiatan yang mendukung materi
§  Kegiatan/soal latihan mendukung konsep dengan benar
§  Kegiatan/soal latihan dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa
§  Soal latihan dilengkapi kunci penyelesaian dan pembahasan
Kemutakhiran materi
§  Mengaitkan dengan perkembangan ilmu terkini.
§  Menggunakan pendekatan “sts” (science technology society).
§  Mengaplikasikan konsep secara umum
§  Memperkenalkan perkembangan sains dan hakikatnya.
Materi dapat meningkatkan kompetensi sains siswa
§  Merencanakan dan melakukan kerja ilmiah.
§  Mengidentifikasi obyek dan fenomena dalam sistem yang ada di alam.
§  Mengaitkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem yang ada di alam.
§  Menerapkan konsep sains dengan teknologi dan kehidupan.
§  Mengkomunikasikan pikiran secara lisan dan tertulis

Materi mengikuti sistematika keilmuan
§  Materi disajikan dari yang sederhana ke yang sulit.
§  Menunjukkan bahwa sains tidak hanya merupakan produk, tetapi juga proses penemuan.
§  Menekankan pada pengalaman langsung.
§  Mengembangkan keterampilan proses
Materi mengembangkan keterampilan dan kemampuan berpikir
§  Mengenali hubungan sebab-akibat.
§  Mengembangkan kemampuan mengambil keputusan
§  Mengembangkan kemampuan problem-solving.
§  Mengembangkan kreativitas.
Materi merangsang siswa untuk mencaritahu (inquiry).

§  Merumuskan masalah.
§  Melakukan pengamatan/observasi.
§  Menganalisis dan menyajikan hasil pengamatan secara kritis
§  Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada orang lain.
Penggunaan notasi, simbol, dan satuan
§  Notasi, simbol, dan satuan yang terdapat dalam materi sesuai dengan acuan Sistem Internasional (SI).
§  Notasi, simbol, dan satuan dalam materi yang tidak menggunakan aturan Sistem Internasional (SI) selalu diberi penjelasan.
Penyajian









































Organisasi penyajian umum                                                                               
§  Materi disajikan secara sistematis dan logis.
§  Materi disajikan secara sederhana dan jelas.
§  Materi disajikan secara runtut.
§  Menunjang keterlibatan dan kemauan siswa untuk terlibat aktif mengemukakan dan berbagi ide
Organisasi penyajian per bab
 a.      Penjelasan awal (Advance Organizer) & tujuan pembelajaran
 b.      Penjelasan materi pokok.
 c.      Aplikasi konsep dalam kehidupan sehari-hari.
d.      Terdapat kegiatan siswa yang bermanfaat.
 e.      Latihan/contoh soal yang nyata, dengan solusi/pembahasan
Penyajian mempertimbangkan kebermaknaan dan kebermanfaatan
a.       Mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya dalam menjelaskan suatu fenomena
b.      Mengaitkan suatu konsep dengan kehidupan nyata siswa.
c.       Penjelasan konsep sebagai upaya untuk membangun struktur pengetahuan IPA siswa

Melibatkan siswa secara aktif
 a.      Setiap konsep, diakhiri dengan kegiatan yang menuntut siswa melakukan kegiatan tersebut.
 b.      Ada upaya menarik minat baca siswa.
 c.      Ada beberapa topik yang harus dikerjakan oleh siswa secara berkelompok, mengembangkan pembelajaran kolaboratif.
Mengembangkan proses pembentukan pengetahuan
 a.      Adanya proses yang menggiring siswa mengalami kegiatan langsung.
 b.      Penyajian materi dan kegiatan menggunakan pendekatan konstruktivisme.
 c.      Banyak menawarkan kegiatan yang mengembangkan keterampilan proses.
Tampilan umum
a.       Gambar ilustrasi, gambar nyata, grafik sesuai dengan konsepnya.
b.      Judul dan keterangan gambar sesuai dengan gambar
c.       Gambar nyata, gambar animasi, grafik dan sebagainya disajikan dengan jelas, menarik dan berwarna.
d.      Dapat mengembangkan minat baca baik guru maupun siswa
Variasi dalam cara penyampaian informasi
a.       Mengembangkan berbagai cara menyajikan informasi (gambar nyata, gambar animasi, grafik, dan sebagainya).
b.      Informasi jelas, akurat dan menambah pemahaman konsep
c.       Sesuai dengan konsep yang menjadi pokok bahasannya.
Meningkatkan kualitas pembelajaran
a.      Penyajian materi, kegiatan, dan tugas menggunakan pendekatan konstruktivisme.
b.      Mengembangkan mekanisme siswa sebagai pusat pembelajaran.
c.      Berorientasi pada CTL (Contextual Teaching and Learning).
d.     Mendorong siswa aktif

Anatomi buku pelajaran
a.       Memiliki daftar isi
b.      Memiliki petunjuk penggunaan buku pelajaran
Memperhatikan kode etik dan hak cipta
a.       Saduran, cuplikan, dan kutipan mencantumkan sumbernya dengan jelas.
b.      Gambar, baik gambar nyata maupun animasi, grafik, dan data hasil kutipan harus mencatumkan sumbernya.
Memperhatikan kesetaraan gender & kepedulian terhadap lingkungan
a.       Memberikan perlakuan yang seimbang terhadap gender dalam memberikan contoh atau acuan.
b.      Memperhatikan kepedulian terhadap lingkungan dalam memberikan contoh atau melakukan kegiatan
Bahasa/ Keterbacaan
Bahasa Indonesia yang baik & benar
a.       Menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
b.      Menggunakan aturan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Peristilahan
a.       Menggunakan peristilahan yang sesuai dengan konsep yang menjadi pokok bahasan.
b.      Terdapat penjelasan untuk peristilahan yang sulit atau tidak umum.
Kejelasan bahasa
a.       Bahasa yang digunakan sederhana, lugas, dan mudah dipahami siswa.
b.      Kalimat tidak bertele-tele, langsung dan tidak terlalu banyak anak kalimat.
Kesesuaian bahasa
a.       Bahasa disesuaikan dengan tahap perkembangan siswa  (komunikatif)
b.      Struktur kalimat sesuai dengan tingkat penguasaan kognitif siswa.
c.       Bahasa mengembangkan kemampuan berpikir logis siswa dalam memahami konsep-konsep IPA.

KURIKULUM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA BERDASARKAN KKNI

UNIVERSITAS FLORES FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA KURIKULUM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FIS...